Catatan : Roy Fachraby Ginting SH M.Kn Dosen Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
MEDAN,Indonesia24.co|Pada masa dahulu, Kerajaan Aru atau Haru merupakan kerajaan Karo yang punya ciri khas tersendiri dalam berkomunikasi. Selain secara lisan, masyarakat Karo dahulu juga sudah berkomunikasi melalui tulisan.
Aksara Karo merupakan tulisan berbentuk bahasa secara tertulis yang telah muncul di wilayah bekas Kerajaan Aru atau Haru sejak beratus tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tulisen (aksara) Karo atau juga disebut Surat Aru (Haru), merupakan salah satu tulisan (aksara) no-Latin yang ada di Nusantara.
Aksara Karo ini merupakan peninggalan budaya dari masyarakat dari etnis Karo yang berbentuk tulisan simbol-simbol yang dimiliki oleh masyarakat Karo kuno.
Berikut ini dapat kami sampaikan ilmu dasar aksara Karo yang di sebut Indung Surat yang huruf lafalnya sebagai berikut :
ha – ka – ba – pa – na – wa – ga – ja – da – ra – ma – ta – sa – ya – nga – la – ca – nda – mba – i – u
Sedangkan untuk angka Suku Karo menyebut dengan lafal :
Sada, dua, telu, empat, lima, enem, pitu, waluh, siwah dan sepuluh.
Sedangkan setelah angka lewat sepuluh, suku Karo memulainya dengan Sepulu sada dan seterusnya.
Aksara atau tulisen Karo ini tumbuh dan berkembang, serta dipergunakan secara meluas di wilayah wilayah Karo di Dataran Tinggi Bukit Barisan dan Pesisir Pantai Timur Sumatera atau di wilayah Kabupaten Karo secara keseluruhan, Taneh Pinem, Gunung Sitember dan Tiga Lingga di Dairi, Sibolangit, Biru Biru, Deli Tua, Namorambe, Pancur Batu di Deli Serdang, Cingkes dan Simalungun Atas, serta kota Medan yang secara Tradisional di huni oleh suku Karo.
Tulisen (aksara) Karo atau disebut juga Surat Aru (Haru), merupakan salah satu tulisan (aksara) no-Latin yang ada di Nusantara. Dikatakan Tulisen Karo karena tumbuh dan berkembang, serta didistribusikan secara luas di wilayah-wilayah Karo (Dataran Tinggi Bukit Barisan dan Pesisir Pantai Timur Sumatera), dan dipakai oleh masyarakat Karo untuk menuliskan cakap (bahasa) Karo.
Bahkan sebelum mulai berkembangnya agama Islam dan sebelum bangsa-bangsa di eropa berpindah menduduki wilayah timur pulau Sumatera Utara. Aksara dan Bahasa Karo ini juga dihubungkan sebagai hasil akulturasi dengan kebudayaan yang dimiliki bangsa dan suku India.
Pada saat itu, persebaran agama Hindu dan Budha di Nusantara banyak dibawa dari pedagang dari India. Pengaruh lainnya yang juga turut terjadi adalah intelektual nusantara belajar ke India dan membawa unsur budaya India.
Aksara Pallawa berkembang lalu dimodifikasi dan dipakai untuk menulis bahasa lokal seperti bahasa Karo yang di tulis dengan aksara Karo dan aksara ini berkembang menjadi aksara Karo dan menjadi aksara yang di gunakan oleh masyarakat Karo pada jaman itu.
Namun cara berkomunikasi pada saat itu tentu berbeda dengan zaman modern saat ini, pada jaman dahulu, nenek moyang suku Karo tidak menggunakan alphabet melainkan dengan aksara khas suku bangsa Karo yang di gunakan sejak ratusan tahun lalu sebagai sarana komunikasi dengan bangsa bangsa lain di Nusantara.
Tulisen (aksara) dalam masyarakat Karo zaman dahulu selain sebagai media komunikasi (surat-menyurat), juga dipergunakan untuk beberapa hal, seperti: menuliskan mangmang/ tabas (mantra), kitab ketabi-pan(ilmu pengobatan), bilang-bilang (ratapan) , ndung-ndungen (pantun), kuning-kuningen (teka-teki), turi-turin (cerita berbentuk prosa yang biasanya memuat silsila, kejadian, ataupun kisah kehidupan), kitab mayan/ ndikar (kitab ilmu bela diri), musuh berngi ( surat kaleng), kontrak (perjanjian), surat izin (surat jalan/izin memasuki wilayah Taneh Karo), dan lain-lain.
Namun, saat ini pengguna aksara Karo sudah sangat minim sekali, sehingga aksara Karo ini sudah tidak digunakan lagi dan tentu akan terancam punah bila tidak segera di gali dan di lestarikan kembali.
Adalah seorang Barata Brahmana dalam usia beliau yang senja masih berjuang dalam sunyi untuk mencegah Kepunahan Aksara Karo yang terancam punah karena semakin jarang digunakan.
Kegundahan hati Barata Brahmana tentu sangatlah beralasan. Karena beliau sangat khawatir akan kepunahan terhadap bahasa aksara Karo sebagai identitas suku bangsa Karo yang selama ini sudah sangat jarang digunakan dan terlupakan oleh generasi muda Karo.
Naskah dan prasasti yang memuat aksara Karo memang saat ini sulit sekali di temukan yang pada dekade tahun 1980 masih sering dapat di lihat dalam bentuk barang barang kuno di toko toko emas di Kabanjahe dan Berastagi sebagai barang antik serta masih sering pula di buat para pengrajin ukat atau sendok bambu khas Karo dan saat ini para pengrajin itu juga sudah banyak yang hilang.
Tokoh dan sesepuh masyarakat Karo Barata Brahmana sering mengingatkan generasi muda Karo agar kembali mempelajari dan mendalami sistem penulisan aksara Karo yang menjadi jati diri bangsa dan Suku Karo sekaligus bukti kecerdasan lokal di masa lalu.
Aksara Karo yang tersebar di Nusantara juga sangat beragam tergantung pada daerah masing-masing. Problematika hampir rata rata sama dalam penggunaan aksara ini yang semakin minim dan kurang di minati generasi muda untuk mempelajari dan mendalaminya
Dari sekian banyaknya beragam aksara nusantara yang ada, tercatat ada 6 aksara kuno yang saat ini terancam punah padahal sempat menjadi saksi sejarah masa kejayaan yang dirasakan di Nusantara seperti :
Aksara Pallawa
Aksara Kawi
Aksara Jawa
Aksara Bali
Aksara Sasak
Aksara Lontara
Masing masing dari aksara tersebut memiliki ciri dan keunikannya masing-masing dari mulai bentuk hingga cara baca yang mereka miliki juga berbeda dan tentunya akan sangat menarik untuk dipelajari dan di dalami.
Barata Brahmana merasa sangat prihatin akan masa depan aksara Karo yang tidak dapat menimbulkan ketertarikan terhadap generasi muda jaman sekarang.
Karena sempat muncul perkiraan bahwa aksara dan bahasa Karo ini dapat punah dalam masa 75 tahun jika ditinggalkan dan tidak di gunakan lagi oleh anak-anak muda yang berada di generasi sekarang.
Oleh sebab itu, berbagai cara di pergunakan oleh Barata Brahmana untuk mengerahkan berbagai cara seperti seminar dan mencari ahli ahli aksara Karo untuk kembali menggali dan menuliskan kembali aksara Karo dalam upaya beliau untuk membangkitkan lagi aksara Karo yang hampir punah ini.
Ancaman kepunahan aksara Karo mesti dicegah dengan berbagai cara, mulai dari mendokumentasikannya secara digital, mengajarkannya di sekolah, hingga memasifkan penggunaannya, kata Barata Brahmana.
Masyarakat suku Karo sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tentu saja kita tidak asing dengan adanya perbedaan budaya di setiap wilayah negara ini.
Karena dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas dan kebudayaannya masing-masing, tentunya cara mereka berkomunikasi satu sama lain juga ikut berbeda.
Bahasa dapat menjadi penghubung yang tepat antara satu individu terhadap individu lainnya, selain itu dapat juga dijadikan sebagai identitas ataupun ciri khas dari masing-masing daerah tersebut.
Seiring dengan berkembangnya jaman yang semakin canggih. Tentu banyak hal yang bisa di lakukan dalam upaya melestarikan dan menjaga serta merawat aksara Karo dengan cara dan sistem yang tentu juga bisa semakin canggih.
Pada saat ini, kita tidak hanya dapat menulis dengan sebagaimana adanya tulisan tangan namun hal tersebut sudah di digitalisasikan melalui platform-platform yang tersedia.
Bahasa dan Aksara Karo tentunya masih bisa digunakan dalam lingkungan masyarakat Karo seperti di acara adat dalam bentuk buku buku aturan atau tata cara adat dan bisa juga nama nama jalan atau merek kantor atau kata kata mutiara yang tersusun cantik dan menarik serta indah seperti di Bali, Jogya, Bandung dan lain lain.
Dalam upaya pelestarian Aksara Karo, Pemkab Karo perlu juga belajar ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menerbitkan Peraturan Daerah nomor 14 tahun 2014 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah untuk memelihara, memanfaatkan, serta mempopulerkan penggunaan aksara Sunda.
Aksara Sunda yang disebut sebagai Kaganga masih terbilang baru diajarkan di bangku pendidikan. Aksara yang populernya disebut sebagai aksara Sunda itu masuk dalam kurikulum pendidikan di bangku SD, SMP, dan SMA sekitar satu dekade terakhir.
Memperkenalkan kembali aksara Karo ke masyarakat terutama di Taneh Karo, Langkat, Simalungun Atas, Aceh Tenggara, Dairi, Deli Serdang dan Medan sebagai daerah Taneh Karo Simalem bukanlah hal sulit. Pemerintah daerah bisa memanfaatkan ruang-ruang publik supaya sosialisasi bisa lebih efektif.
Pelestarian aksara Karo ini juga tentu bisa di pakai secara khas di tempat nongkrong, fashion, dan kuliner seperti di Bali, Bandung dan Jogyakarta. Bisa juga kita meniru penyertaan aksara Sunda di beberapa jalan protokol dan gedung instansi pemerintah. Ada pula sebuah kedai kopi di daerah Lembang yang menyertakan aksara Sunda di kaca depan kedainya.
Penyertaan aksara daerah lain seperti aksara Jawa, Hanacaraka, juga ditemukan di Solo misalnya di Stasiun Solo Balapan. Beberapa jalan protokol di Semarang dan Yogyakarta juga menyertakan aksara tersebut. Sementara bagi yang sering ke Bali, kita bisa melihat penyertaan aksara Bali di ucapan selamat datang saat mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
Semoga impian Pak Barata Brahmana bisa kita wujudkan dengan berusaha keras untuk terus berjuang menggali dan melestarikan aksara Karo sebagai identitas kita sebagai Suku Bangsa Karo.
Mejuahjuah…
Laporan : Eri Nangin