Menelusuri Sejarah Peradaban dan Penyebaran Suku Karo di Sumatera Utara

ERIANTO PERANGIN ANGIN

- Redaksi

Sabtu, 3 Agustus 2024 - 15:27 WIB

40536 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Catatan : Roy Fachraby Ginting,SH M.Kn Dosen Universitas Sumatera Utara (USU)

MEDAN,Indonesia24.co|Suku Karo adalah suku asli yang menetap di dataran tinggi Karo, termasuk di Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Simalungun Atas, Tebing Tinggi, Aceh Tenggara, Bener Meriah dan Kota Medan.

Kalak Karo yang lazim disebut sebagai suku Karo adalah salah satu kelompok etnis yang menyebar dan menetap di Sumatera bagian timur dan suku atau etnis ini adalah merupakan salah satu etnis terbesar di Sumatera Utara.

Nama etnis ini juga dijadikan sebagai nama salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo. Etnis ini memiliki bahasa yang disebut cakap Karo.

Sejarah keberadaan suku Karo menurut Sempa Sitepu adalah berawal dari seorang maharaja yang kaya, sakti, dan berwibawa tinggal di sebuah negeri yang jauh di seberang lautan bersama keluarganya. Maharaja ini memiliki seorang panglima perang yang sangat sakti dan dihormati bernama Karo yang berasal dari India.

Pada suatu ketika, maharaja memutuskan untuk mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaan baru dan mengajak pasukannya, termasuk putrinya Miansari yang sedang jatuh cinta kepada panglima Karo. Mereka pun mulai berlayar dengan rakit buatan mereka sendiri.

Namun, Miansari dan Karo terdampar di sebuah pulau yang tidak dikenal, sementara maharaja dan rombongannya tidak diketahui keberadaannya. Miansari dan Karo kemudian sepakat melarikan diri dan menikah. Mereka melanjutkan perjalanan ke pulau Perca (Sumatra), dan tiba di Belawan.

Dari sana, mereka menelusuri aliran sungai ke pedalaman hingga tiba di Durin Tani, tempat di mana mereka beristirahat di gua Umang sebelum melanjutkan perjalanan. Karena merasa tempat itu belum aman, mereka kembali menjelajahi hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.

Setelah melewati beberapa tempat seperti Buluhawar dan Bukum, mereka tiba di kaki gunung yang diberi nama Sikeben, dekat Bandarbaru. Beberapa bulan setelah itu, Karo melihat tempat yang lebih indah dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga tiba di kaki Gunung Barus.

Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk. Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu.

Akan tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain.

Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai.

Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo (Taneh Karo).

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus.

Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

Karo.
Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.

Ginting, anak kedua.

Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.

Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).

Tarigan, anak bungsu.

Etnis Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama Merga Silima, Tutur Siwaluh, dan Rakut Sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru.

Baca Juga :  GPMSU Batal Aksi Damai, Dan Batal Ketemu Kapoldasu Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi Tanggal 16 Agustus 2023

Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Batak Karo terdiri dari lima kelompok utama (marga inti/pokok), yang disebut dengan Merga Silima.

Kelima marga suku Karo tersebut mempunyai sub-marga masing-masing, dimana setiap orang Karo mempunyai salah satu dari marga tersebut. Marga diperoleh secara turun temurun dari ayah, marga ayah juga marga anak.

Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Jikalau laki-laki bermerga sama, maka mereka disebut ersenina.

Demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru yang sama, maka mereka disebut juga ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan.

Susunan peradatan pada masyarakat Karo diatur sedemikian rupa dengan ikatan Rakut Sitelu, yang artinya secara metaforik adalah tungku dengan kekuatan tiga pilar, yang berarti ikatan yang tiga. Arti Rakut Sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi masyarakat Karo.

Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

Kalimbubu, yakni dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi istri.

Anak beru, yakni keluarga yang mengambil atau menerima istri.

Sembuyak, yakni keluarga satu galur keturunan marga atau keluarga inti.

Masyarakat Karo mempunyai salam khas yaitu mejuah-juah atau lengkapnya adalah mejuah-juah kita kerina yang memiliki arti sehat-sehat kita semua, baik-baik kita semua, kedamaian, kesehatan, kebaikan untuk kita semua.

Tutur Siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan :

Puang Kalimbubu
Kalimbubu
Senina
Sembuyak
Senina Sipemeren
Senina Sepengalon/Sedalanen
Anak Beru
Anak Beru Menteri

Dalam pelaksanaan upacara adat, Tutur Siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan.

Bahasa Karo adalah salah satu bahasa Austronesia yang digolongkan ke dalam bahasa Batak Utara yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Karo di wilayah Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Dairi, Simalungun Atas, Aceh Tenggara, Bener Meriah dan Kota Medan.

Aksara yang digunakan oleh orang Karo adalah Tulisen Karo yang merupakan varian dari Surat Batak. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.

Masyarakat Karo juga memiliki penanggalan atau Kalender Karo. Nama-nama bulan dan binatang atau benda apa yang bersamaan dengan bulan bersangkutan adalah sebagai berikut:

Bulan Sipaka sada merupakan bulan kambing.
Bulan Sipaka dua merupakan bulan lembu.
Bulan Sipaka telu merupakan bulan gaya (cacing).
Bulan Sipaka empat merupakan bulan padek (katak).
Bulan Sipaka lima merupakan bulan arimo (harimau).
Bulan Sipaka enem merupakan bulan kuliki (elang).
Bulan Sipaka pitu merupakan bulan kayu
Bulan Sipaka waluh merupakan bulan tambok (kolam).
Bulan Sipaka siwah merupakan bulan gayo (kepiting).
Bulan Sipaka sepuluh merupakan bulan belobat, baluat atau balobat (sejenis alat musik tiup).
Bulan Sipaka sepuluh sada merupakan bulan batu.
Bulan Sipaka sepuluh dua merupakan bulan binurung (ikan).

Nama-nama hari pada suku Karo apabila diperhatikan banyak miripnya dengan kata-kata bahasa Sanskerta.

Setiap hari dari tanggal itu mempunyai makna atau pengertian tertentu.

Oleh karena itu apabila seseorang hendak merencanakan sesuatu, misalnya keberangkatan ke tempat jauh, berperang ke medan laga, memasuki rumah baru dan berbagai kegiatan lainnya.

Selalu dilihat harinya yang dianggap paling cocok. Di sinilah besarnya peranan “guru si beloh niktik wari” (dukun/orang tua yang pintar melihat hari dan bulan yang baik dan serasi), yang dengan perhitungannya secara saksama, ia menyarankan agar suatu acara yang direncanakan dilakukan pada hari X.

Adapun nama yang 30 dalam satu bulan yang di kenal dengan Wari Sitelupuh adalah sebagai berikut :

1. Aditia
2 Suma
3. Nggara
4. Budaha
5. Beras pati
6.Cukra enem
7. Belah naik
8. Aditia naik
9. Sumana siwah
10. Nggara sepuluh
11. Budaha ngadep
12. Beras pati tangkep
13. Cukera dudu (lau)
14. Belah purnama raya
15. Tula
16.Suma cepik
17. Nggara enggo tula
18. Budaha gok
19. Beras pati
20. Cukra si 20
21. Belah turun
22. Aditia turun
23. Sumana mate
24. Nggara simbelin
25. Budaha medem
26. Beras pati medem
27. Cukrana mate
28. Mate bulan ngulak
29. Dalan bulan
30. Sami sara

Masyarakat Karo juga memiliki kegiatan kebudayaan dan adat-istiadat yang di langsungkan secara rutin. Kegiatan tersebut tentu dalam membangun komunikasi dan silaturahmi antar saudara dan orang lain.

Baca Juga :  Polsek Percut Sei Tuan Tembak Seorang Pelaku Begal

Kerja Tahun Merdang Merdem: merupakan pesta tahunan di setiap desa di wilayah Karo yang disertai “Gendang guro-guro aron”. Bahkan Kuta Medan sejak tahun 2015 telah melaksanakan pesta budaya Kerja Tahun Merdang Merdem Kuta Medan setiap tahun dan kegiatan ini di perakarsai Roy Fachraby Ginting dan HN Serta Ginting sebagai inisiator dan penggagas.

Mahpah: “Kerja tahun” yang disertai “Gendang guro-guro aron”.

Mengket Rumah Mbaru: Pesta perayaan memasuki rumah (adat/ibadat) baru.

Mbesur-mbesuri: “Mengenyangkan” memberi makan untuk wanita yang hamil 7 bulan, dengan harapan memenuhi keinginannya sebelum melahirkan.

Cawir Metua: Upacara adat/ritual kematian.

Ndilo Udan: Memanggil hujan.

Rebu-rebu: Mirip dengan pesta “kerja tahun”.

Ngumbung: Hari jeda “aron” (kumpulan pekerja di desa).

Erpangir Ku Lau: Penyucian diri (untuk membuang sial).

Raleng Tendi: “Ngicik Tendi”, yaitu memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.

Motong Rambai: Pesta kecil keluarga-handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapih.

Ngaloken Cincin Upah Tendi: Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).

Manok Sangkepi

Mbaba Belo Selambar (MBS): Rangkaian ritus Pernikahan adat Karo

Ngaloken Rawit: Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau clurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) – keponakan laki-laki.

Dalam sejarah Kota Medan, tercatat bahwa Kuta Medan didirikan oleh seorang tokoh Karo yang bernama Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi. Sebagian sejarawan dan pemerhati budaya juga memercayai bahwa asal mula nama Medan berasal dari bahasa Karo, yakni “Maadan” yang berarti sembuh dan itu tentu berkaitan dengan Profesi Guru Pa Timpus Sembiring Pelawi Pendiri Kuta Medan adalah seorang thabib atau Dukun besar pada jamannya.

Demikian juga sejarah Kota Binjai yang juga merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan, hal ini disebabkan oleh jaraknya yang relatif dekat dari Kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Nama “Binjai” juga dipercaya oleh sementara orang berasal dari gabungan kedua kosakata bahasa Karo, “ben” dan “i-jei” yang artinya “bermalam di sini”.

Hal tersebut kemudian diucapkan “Binjei” dan menjadi “Binjai” hingga sekarang. Sejarah ini tentu tidak terlepas dari perjalanan Perlanja Sira atau pedagang garam dari tepi laut ke pegunungan dataran tinggi Karo dan Ben i jei adalah tempat istirahat dan barter para pedagang garam tersebut.

Masyarakat Karo di Kabupaten Langkat juga mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, Selesai, Batang Serangan, dan Serapit. Teluk Aru yang berada di Langkat Hilir juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Haru, kerajaan bercorak Karo dan Melayu tersebut yang dimana suku Karo yang menjadi Islam dan menjadi Melayu menjadi leluhur dari Sultan Melayu Langkat di Sumatera Timur.

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Suku Karo dan Pakpak memiliki kemiripan budaya dan bahasa dan sebagian wilayah Kabupaten Dairi yang merupakan wilayah penyebaran suku Karo yakni Wilayah Tanah Pinem, Tigalingga dan Gunung Sitember.

Sebagian wilayah Kabupaten Aceh Tenggara juga menjadi daerah penyebaran suku Karo yang meliputi wilayah Babul Rahmah, Lawe Sigala-Gala dan Semadam.

Sedangkan Wilayah Kabupaten Deli Serdang merupakan daerah terluas penyebaran suku Karo di Sumatera Utara. Penduduk suku Karo terbesar berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang yang meliputi Tanjung Morawa, Sinembah Tanjung Muda Hulu, Sinembah Tanjung Muda Hilir, Sibolangit, Pancur Batu, Kutalimbaru, Sunggal, Deli Tua, Sibiru-biru dan Gunung Meriah.

Penyebaran suku Karo juga cukup banyak di Kabupaten Simalungun ada di wilayah Dolok Silau, Pamatang Silima Huta dan Silimakuta. Wilayah Karo dan Simalungun pada jaman penjajahan Belanda berada dalam satu wilayah Pemerintahan.

Dalam buku Sejarah Pijer Podi, adat Nggeluh Suku Karo Indonesia karya Kol (Purn) Sempa Sitepu menjelaskan sejarah Suku Karo yang diperoleh dari cerita lisan turun-temurun, yang didengarnya dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1883. Menurut Sitepu, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan, dekat perbatasan dengan Myanmar.

Bahasa Karo digunakan sebagai alat komunikasi mereka dan salam tradisional untuk menyapa adalah “Mejuah-juah” yang menggambarkan kehangatan dalam budaya masyarakat Karo.

Laporan : Erianto Perangin-Angin.

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Perempuan Memilih Dan Menentukan Fatayat NU Sumut Selenggarakan Sosialisasi Peningkatan Partisipasi Pemilih Pilkada 2024
Mantan Legislator Sumut Nurhasanah Mohon Keadilan Kepada Presiden Prabowo Subianto
Syaiful Syafri ; Pemberdayaan Sosial Langkah Percepatan Menurunkan Kemiskinan Di Indonesia
Dukungan Terhadap Zahir – Aslam Semakin Deras, Kali Ini Suku Batak se-Batu Bara Gelar Doa Bersama
Zahir Pada Debat Cabub/Cawabub Batu Bara, Masyarakat Sudah Merasakan Pembangunan
Diduga Anak Kalah Debat, Ayah Serang Paslon 03
Zahir ; Saya Sudah Letakan Pondasi Dasar Kesejahteraan Masyarakat Batu Bara, Tinggal Melanjutkan
PC Fatayat NU dan PP Fatayat NU Selenggarakan Sosialisasi Literasi Keuangan Syariah Bekerjasama Dengan PNM Medan

Berita Terkait

Senin, 25 November 2024 - 23:40 WIB

Peringatan Hari Guru di Pakpak Bharat

Sabtu, 23 November 2024 - 19:43 WIB

Forkopimda Pakpak Bharat Rapat Bahas Pengiriman Logistik Pilkada

Rabu, 20 November 2024 - 03:50 WIB

Mantan Legislator Sumut Nurhasanah Mohon Keadilan Kepada Presiden Prabowo Subianto

Minggu, 10 November 2024 - 20:14 WIB

Pjs Bupati Naslindo Sirait Pimpin Upacara Peringatan Hari Pahlawan Nasional Tahun 2024

Kamis, 7 November 2024 - 22:08 WIB

Resiko Bencana di Pakpak Bharat Tinggi

Kamis, 7 November 2024 - 17:09 WIB

Syaiful Syafri ; Pemberdayaan Sosial Langkah Percepatan Menurunkan Kemiskinan Di Indonesia

Selasa, 5 November 2024 - 18:56 WIB

Dukungan Terhadap Zahir – Aslam Semakin Deras, Kali Ini Suku Batak se-Batu Bara Gelar Doa Bersama

Senin, 4 November 2024 - 00:13 WIB

Polsek Bosar Maligas Lakukan Patroli Malam untuk Antisipasi Kejahatan 3C, Pastikan Keamanan Masyarakat Tetap Terjaga

Berita Terbaru

Oplus_0

PAKPAK BHARAT

Peringatan Hari Guru di Pakpak Bharat

Senin, 25 Nov 2024 - 23:40 WIB