KARO,Indonesia24.co|Sidang gugatan yang dilayangkan Natanel Bangun dkk terhadap Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak masih bergulir di PTUN Jakarta. Selasa (8/10) lalu, sidang lanjutan digelar dengan agenda pemeriksaan dua orang saksi ahli. Dalam keterangnnya, kedua saksi ahli yang dihadirkan Dirjen Pajak sama-sama menegaskan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) telah melampaui wewenangnya.
Dalam keterangannya, saksi ahli Prof Yos Johan Utama menyatakan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-206/PJ/2018 Tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak ke pejabat bawahannya (KPP) menerbitkan keputusan ketetapan perpajakan, merupakan sebuah kesalahan.
Senada juga diungkapkan saksi ahli Tri Atmojo Sejati yang menegaskan bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-206/PJ/2021 tidak berisi norma hukum. Terkait penyataan kedua saksi ahli ini dikatakan kuasa hukum penggugat, masing-masing Cuaca Teger, Timbul Siahaan, dan Luther Sihotang kepada wartawan, Senin (14/10) Pagi.
Cuaca Teger mengatakan, sebelum mengajukan gugatan No. 226/G/2024/PTUN.JKT, kliennya (Natanel Bangun dkk) atau para penggugat telah mengajukan uji materi terhadap Keputusan Dirjen Pajak No.
Kep-206/PJ/2021 tentang pelimpahan wewenang Direktur Jenderal Pajak kepada para pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak ini.
Dalam putusan No. 4 P/HUM/2024, Mahkamah Agung menolak uji materi karena Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-206/PJ/2021 bukan merupakan produk perundang-undangan. “Artinya, Kep- 206/PJ/2021 tersebut tidak bersifat mengikat kepada wajib pajak, sehingga bukan obyek uji materi Mahkamah Agung,” tegas Cuaca Teger.
Lanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 4 P/HUM/2024 tersebut Dirjen Pajak sudah menyatakan bahwa pelimpahan kewenangan Direktur Jenderal Pajak kepada Kepala KPP atau Kakanwil tidak berdampak hukum kepada wajib pajak.
Namun, Kep-206/PJ./2021 tersebut justru digunakan Kepala KPP melampaui wewenangnya untuk menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar, keputusan keberatan dan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan (Buper).
“Karena itulah para penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta,” tegas Cuaca Teger.
Sebelumnya dalam jawabannya Dirjen Pajak menyatakan terdapat 229.271 dokumen surat ketetapan pajak kurang bayar, 67 dokumen surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan 711 dokumen surat perintah pemeriksaan bukti permulaan yang diterbitkan oleh Kepala KPP pada tahun 2023.
Padahal data tersebut merupakan keputusan atau produk hukum yang menjadi kewenangan Direktur Jenderal Pajak. Namun dilimpahkan kepada para pejabat di bawahnya.
“Dengan membandingkan keterangan kedua saksi ahli dan dengan jumlah dokumen yang diterbitkan sesuai jawaban Dirjen Pajak, menunjukkan seluruh dokumen yang diterbitkan berdasarkan pelimpahan kewenangan tersebut adalah salah dan tidak mengikat kepada waji pajak,” tegas Cuaca Teger.
Hal ini lanjutnya, dapat dilihat di putusan-putusan praperadilan atas pemeriksaan bukti permulaan di beberapa Pengadilan Negeri.
“Hampir semuanya tidak mengakui kewenangan Kakanwil dalam menerbitkan surat perintah Buper,” tegasnya.
Karena putusan yang demikian, memberikan peluang bagi Kepala KPP melanggar kerahasiaan jabatan atas disampaikannya data SPT PPh/PPN kepada Kakanwil yang tidak berwenang untuk melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan.
Sebab Kakanwil menggunakan SPT PPh/PPN dari KPP tersebut untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
“Seperti kasus di Labuhan Batu, sudah ada wajib pajak mengadukan Kepala KPP, Kakanwil, dan Dirjen Pajak atas pelanggaran rahasia jabatan dan saat ini Polres Labuhan Batu sedang memprosesnya,” lanjut Cuaca Teger.
Karena itu, Cuaca Teger sangat menyayangkan keputusan Dirjen Pajak dalam melimpahkan wewenang menerbitkan surat ketetapan pajak yang mengikat tersebut pada Kepala KPP, Kakanwil, dan Direktur dengan alasan hambatan tekhnis “overload”nya tugas Dirjen Pajak serta untuk mengisi kekosongan hukum.
Apalagi keputusan tersebut tidak memenuhi perintah Undang-undang Perpajakan yang menyebutkan kewenangan tersebut hanya diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak.
“Pelimpahan wewenang tanpa berdasar undang-undang dan memberlakukannya kepada wajib pajak dapat dinilai sebagai pembentuk arogansi dikalangan fiskus yang memang perlu dihindari dalam konteks self assessment system,” tutup Cuaca Teger yang sudah pernah memenangkan judicial review pemeriksaan bukti permulaan di Mahkamah Konstitusi itu.
Sidang lanjutan gugatan ini akan kembali digelar dengan agenda pengajuan bukti-bukti.
Reporter :ERI NANGIN.