MEDAN,Indonesia24.co|Aksara atau sistem penulisan adalah suatu sistem simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya (batu, kayu, kain, dll) untuk mengungkapkan unsur-unsur yang ekspresif dalam suatu bahasa.
Istilah lain untuk menyebut aksara adalah sistem tulisan. Alfabet dan abjad merupakan istilah yang berbeda karena merupakan tipe aksara berdasarkan klasifikasi fungsional.
Aksara secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akṣara yang bisa berarti ‘huruf’, bunyi’atau ‘vokal’.
Aksara juga dapat berarti “tak termusnahkan”, yang berasal dari kata a+kṣara; awalan a- berarti ‘tidak’, sedangkan kṣara berarti ‘termusnahkan’.
Aksara dikatakan sebagai sesuatu yang kekal karena peranannya dalam dokumentasi atau mendokumentasikan dan mengabadikan suatu peristiwa komunikasi dalam bentuk tulisan, sehingga kesuraman dan kejayaan masa lalu dapat dijamah kembali dengan bukti-bukti literal.
Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf atau abjad (bahasa Arab) yang dimengerti sebagai lambang bunyi bahasa (fonem) sedangkan bunyi itu sendiri adalah lambang pengertian yang menurut catatan sejarah secara garis besar terdiri dari kategori (Kartakusuma 2003)
Aksara Karo ini merupakan peninggalan budaya dari masyarakat (etnis) Karo yang berbentuk tulisan simbol-simbol yang dimiliki oleh masyarakat Karo sejak jaman dahulu.
Tulisen (aksara) Karo atau juga disebut Surat Aru (Haru), merupakan salah satu tulisan (aksara) no-Latin yang ada di Nusantara. Aksara Karo atau sering juga disebut tulisen Karo atau Surat Haru yang merupakan turunan dari aksara Brahmi dari India kuno.
Tulisan atau aksara Batak Karo ini tumbuh dan berkembang di masyarakat (etnis) Karo serta tersebar luas di wilayah Kabupaten Karo secara keseluruhan, Taneh Pinem, Gunung Sitember dan Tiga Lingga di Dairi, Sibolangit, Biru Biru, Deli Tua, Namorambe, Pancur Batu dll di Deli Serdang, Cingkes dan Simalungun Atas, serta kota Medan yang secara Tradisional di huni oleh suku Karo.
Aksara atau tulisen Karo ini tumbuh dan berkembang, serta dipergunakan secara meluas di wilayah-wilayah Karo (Dataran Tinggi Bukit Barisan dan Pesisir Pantai Timur Sumatera), dan dipakai oleh masyarakat Karo untuk menuliskan cakap (bahasa) Karo.
Aksara Karo merupakan milik dari masyarakat suku Karo atau dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat etnis Karo serta tersebar luas, dipergunakan dan diajarkan.
Pada awalnya aksara Karo ini di ajarkan atau di pelajari dengan bahasa pengantar, cakap Karo di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur di wilayah Sumatera bagian utara dan dataran tinggi Karo yang terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan.
Bahkan dahulu bahasa dan aksara Karo itu pernah dipergunakan sebagai media serta instrumen pengajaran secara umum, bahkan di Kabupaten Karo dan beberapa daerah di wilayah Deli Serdang dan Langkat, Aksara Karo masih masuk dalam pelajaran muatan lokal di sekolah Dasar di daerah yang di huni mayoritas suku Karo.
Ketika belajar untuk mengenal aksara Karo, tidak banyak literatur kuno yang dapat kita pelajari serta mendukung sejak kapan tulisan atau aksara Karo itu mulai eksis dipergunakan secara luas di wilayah Karo.
Akan tetapi ada beberapa syair cinta, ramalan, puisi, seni sastra lainnya serta cerita sejarah adanya interaksi berupa surat-menyurat antara kerajaan Haru dengan kerajaan kerajaan yang ada pada waktu itu seperti: Johor, Malaka, Portugis, dan Aceh yang ditemukan.
Aksara atau tulisan Karo ini di pergunakan dalam menuskrip Hikayat Hamparen Perak yang diperkirakan terbit sekitar abad ke-18 yang berisikan teks 55 halaman dalam bahasa Karo yang sebelumnya disimpan di Instituut voor de Tropen di Amsterdam. Kini dokumen tersebut saat ini tidak di ketahui atau hilang dan saat ini kita tidak tahu keberadaannya.
Seharusnya dokumen berharga seperti manuskrip ini dapat di jaga dan di rawat serta di buat salinan atau duplikat agar kelak tetap bisa menjadi sebuah bukti eksistensi suku Karo, khususnya aksara dan bahasanya. Demikian juga, keberadaan menuskrip Karo asli dalam bahasa dan aksara Karo sekitar abat ke-17 atau 18 yang mengisahkan perjalanan merga Sembiring Kembaren (Pustaka Kembaren) dan merga Ginting (Pustaka Ginting).
(ERI NANGIN)